melatih indra ketujuh (disarikan dari internet)
INDRA KE TUJUH
Mendengar
kata ‘indera keenam’ pasti yang terbayang dalam benak kita adalah
orang-orang sakti yang memiliki ilmu kanuragan tinggi, sakti mandraguna,
bisa melihat apa yang orang lain tidak bisa lihat, dan bisa merasakan
apa yang orang lain tidak rasakan. Manusia sebenarnya memiliki enam
indera. Namun yang kita tahu selama ini hanyalah lima indera saja atau
yang biasa disebut ‘panca indera’. Fungsi dan mekanisme kerja indera keenam dan panca indera sangat berbeda.
Panca indera terdiri dari mata, telinga, hidung, lidah dan kulit. Mata, digunakan
untuk melihat. Hanya dapat melihat sesuatu apabila ada cahaya. Secara
fisika, benda dapat kita lihat karena benda tersebut memantulkan cahaya
ke mata kita. Jika tidak ada pantulan cahaya, meskipun di depan kita ada
suatu benda, benda tersebut tidak akan bisa kita lihat. Misalnya dalam
kegelapan, kita bahkan tidak akan mampu melihat tangan kita sendiri.
Maka bersyukurlah kepada Allah karena diberikannya sinar atau
cahaya.
Indera
penglihatan ini memiliki keterbatasan. Ia hanya mampu melihat jika ada
pantulan cahaya pada frekuensi 10 pangkat 14 Hz. Mata tidak bisa melihat
benda yang terlalu jauh. Tidak bisa melihat benda yang terlampau kecil
seperti sel-sel ataupun bakteri. Tidak bisa melihat benda yang ada
dibalik tembok. Bahkan mata kita sering ‘tertipu’ dengan berbagai
kejadian. Misalnya pada siang hari yang terik, dari kejauhan terlihat
air yang mengeluarkan uap di atas jalan beraspal. Namun apabila kita
mendekat ternyata yang kita lihat tidak benar adanya. Ini yang kita
sebut fatamorgana. Tipuan lain adalah pembiasan benda lurus dalam air,
sehingga benda tersebut kelihatan bengkok. Bintang yang kita lihat di
langit sangat kecil ternyata sungguh sangat besar, dan lebih besar dari
bumi yang kita tempati.
Penglihatan
oleh mata kita sangat kondisional, seringkali tidak ‘menceritakan’
keadaan yang sesungguhnya pada otak kita. Bukti-bukti di atas memberikan
gambaran bahwa indera mata kita mengalami distorsi alias
penyimpangan yang sangat besar. Namun, mata inilah yang kita gunakan
untuk melihat dan memahami dunia nyata yang ada di luar diri kita.
Matapun tidak bisa melihat apa yang ada dalam diri kita dan yang ada
dalam diri orang lain. Apa yang orang lain pikirkan dan rasakan tidak
bisa dilihat oleh mata. Mata sungguh sangat terbatas.
Namun
keterbatasan ini harus pula kita syukuri. Bayangkan saja apabila mata
kita bisa melihat benda yang ukurannya mikroskopis seperti bakteri
ataupun jamur. Maka kita tidak akan bisa makan dengan tenang dan nikmat,
sebab semua makanan yang kita makan mengandung bakteri dan jamur yang
bentuknya sangat menyeramkan. Satu menit saja kita menyimpan makanan
dalam keadaan terbuka maka jamur dan bakteri sudah ada pada makanan
tersebut. Atau seandainya mata kita tidak terbatas, maka kita akan bisa
melihat setan-setan dan jin-jin yang berkeliaran di sekitar kita, dapat
melihat orang di balik tembok, dapat melihat proses pencernaan yang
terjadi dalam tubuh kita sendiri sehingga menjadi kotoran. Sungguh
kehidupan kita akan sangat menyeramkan.
Indera selanjutnya adalah telinga. Ia merupakan
organ tubuh yang digunakan untuk mendengarkan suara. Telinga hanya bisa
mendengar suara pada frekuensi 20 s/d 20 ribu Hz. Suara yang memiliki
frekuensi tersebut akan menggetarkan gendang telinga kita, untuk
kemudian diteruskan ke otak oleh saraf-saraf pendengar. Hasil dari
interpretasi otak, suara dapat ditandai dan dikerahui. Apabila suara
getarannya dibawah 20 Hz maka suara tidak bisa didengar, dan apabila
melebihi 20 ribu Hz maka suarapun tidak akan mampu didengar dan bahkan
gendang telinga akan pecah alias rusak.
Pada
intinya telinga kitapun memiliki keterbatasan layaknya mata. Allah
memberikan batasan pendengaran pada kita sebagai karunia dan rahmat yang
harus pula kita syukuri. Bayangkan saja jika pendengaran kita tidak
dibatasi, maka kita akan bisa mendengarkan suara-suara binatang malam,
juga kita bisa mendengarkan suara jin sedang bercakap-cakap, dan lain
sebagainya, maka hidup kitapun tidak akan tenang.
Indera
yang ketiga adalah hidung. Indera ini digunakan untuk merasakan bau. Di
dalam rongga hidung terdapat saraf-saraf yang akan menerima rangsangan
bau yang masuk. Selanjutnya saraf menghantarkannya ke otak untuk
diterjemahkan. Sebagaimana mata dan telinga, hidung juga memiliki
keterbatasan kemampuan. Misalnya, apabila hidung kita menerima aroma
makanan yang terlalu pedas maka kita akan bersin-bersin. Apabila hidung
sering merasakan bau busuk maka kepekaannya terhadap bau busuk akan
hilang. Misalnya kita tinggal di lingkungan yang banyak sampah berbau
busuk. Awalnya kita amat terganggu dan tidak tahan dengan bau tersebut,
namun lama kelamaan kita tidak akan merasakan bau busuk tersebut.
Indera keempat dan kelima adalah indera pengecap dan peraba, yakni lidah dan kulit.
Lidah digunakan untuk mengecap rasa, sedangkan kulit untuk merasakan
kasar, halus, panas, dingin, dan lain-lain. Kedua indera inipun memiliki
keterbatasan dalam memahami fakta yang ada di luar dirinya. Kalau kulit
kita dibiasakan dengan benda kasar terus dalam kurun waktu yang lama,
maka kepekaan kulit kita untuk memahami benda yang halus juga akan
berkurang. Begitu juga dengan kemampuan lidah kita. Dalam kondisi
tertentu, misalnya kita terbiasa dengan makanan pedas, maka lidah tidak
akan merasakan enaknya makanan yang tidak terasa pedas.
Dengan
berbagai penjelasan di atas tidak diragukan lagi bahwa lima indera yang
kita miliki semuanya serba terbatas, kondisional, dan seringkali
tertipu oleh hal-hal yang sebenarnya jelas namun terinterpretasi secara
tidak jelas. Sebenarnya manusia memiliki indera yang lebih hebat lagi
dibandingkan dengan panca indera. Itulah indera keenam. Setiap orang
memiliki indera keenam yang bisa berfungsi melihat, mendengar,
merasakan, dan membau sekaligus. Indera tersebut yakni hati kita.
Akan tetapi beberapa potensi fungsi hati di atas tidak pernah mampu
kita maksimalkan. Kenapa? karena memang kita tidak pernah melatihnya.
Manusia
terlahir sudah memiliki indera keenam yang berfungsi dengan baik.
Karena itu seorang bayi dapat melihat ‘dunia dalamnya’. Ia menangis dan
tertawa sendiri karena melihat ada ‘dunia lain’. Seorang anak pada masa
balitanya bisa melihat dunia jin misalnya. Akan tetapi seiring dengan
bertambahnya waktu, kemampuan indera keenam tersebut menurun drastis.
Sebabnya adalah orang tua kita tidak melatih indera keenam kita. Mereka
lebih melatih panca indera kita untuk memahami dunia luar. Orangtua kita
sangat risau apabila kita tidak bisa menggunakan panca indera kita
dengan baik. Namun sebenarnya kemampuan penginderaan hati kita jauh
lebih dahsyat.
Hati
kita bisa merasakan, melihat, dan mendengar apa yang tidak dirasakan,
dilihat, dan didengar oleh panca indera. Kita bisa ‘kenalan’ dengan
Allah hanya dengan cara mengaktifkan fungsi hati kita dengan baik.
Kita bisa melihat Allah hanya dengan hati kita, bukan dengan mata. Kita
bisa merasakan adanya Allah bukan dengan kulit kita, namun dengan hati.
Allah SWT sudah mengingatkan kita dalam Alqur’an akan pentingnya
menghidupkan hati, dalam Alqur’an surat Al-Israa’ [17] ayat 72
disebutkan:
“dan barang siapa di dunia ini buta hatinya, maka di akhirat nanti juga akan buta, dan lebih sesat lagi jalannya”.
Rasulullah
SAW pernah mengingatkan para sahabat akan pentingnya mengedepankan
fungsi hati sebagai raja bagi kehidupan. Apabila kita menjadikan akal
kita sebagai raja dan hati menjadi pengawalnya, maka tunggulah
kehancuran hidup kita. Hati kita akan tertutup dengan bercak hitam
sehingga kita tidak mampu mengenal Allah. Akal menjadi raja untuk diri
kita karena kita membiasakan diri menilai kebahagiaan hidup hanya
melalui apa yang dirasakan di dunia ini saja. Yang dilihat oleh mata,
didengar oleh telinga, dirasakan oleh lidah dan kulit, semuanya
diinterpretasikan di otak (akal). Sehingga kitapun lebih memercayai
rsio, logika dan nalar kita untuk mengukur kebahagiaan hidup. Pola ini
akan membawa kita pada pola hidup yang mengandalkan akal dan
mengesampingkan hati nurani. Banyak orang yang pintar dan cerdas dalam
menguasai suatu ilmu namun kering akan ruhani ketuhanan. Mereka tidak
mampu melihat sesuatu yang metafisik, sesuatu dibalik segala ciptaan
yang tak terbatas. Mereka akhirnya juga tidak mampu mereguk nikmatnya
ibadah dan tidak mampu merasakan kehadiran Allah.
Berbeda
halnya apabila hati kita yang menjadi raja bagi diri kita. Kita akan
bisa merasakan kehadiran Allah dalam hidup kita. Dalam kehidupan
sosial, kita juga bisa merasakan apa yang orang lain rasakan (peka).
Oleh karena itu jadikanlah hati sebagai raja bagi diri kita.
Orang
yang tidak melatih hatinya saat hidup di dunia – sehingga hatinya
tertutup – maka mereka akan dibangkitkan oleh Allah di akhirat nanti
dalam keadaan buta.
Lalu,
bagaimanakah cara melatih hati kita untuk bisa ‘melihat’ Allah ?
Mari kita menuntut ilmu demi mengharap ridha Allah , bekerja karena
Allah , doa, sholat, puasa, bersedekah, dzikir, do’a, dan semua bentuk
ibadah adalah karena Allah , dengan hati yang tulus dan ikhlas.
0 komentar